Tekad Sejak Kecil Tinggal di Luar Negeri
Sebuah kisah relokasi penuh strategi, pengorbanan, dan keajaiban kecil




Sebuah Rencana Tak Biasa yang Menjadi Titik Balik Hidup
Tidak semua perjalanan perantau dimulai dari beasiswa atau tawaran kerja. Beberapa, seperti Amar, justru dimulai dari tekad yang dipupuk sejak kecil. Dari Bengkulu yang terpencil, ke Turki yang penuh ketidakpastian, hingga akhirnya menemukan rumah (sementara?) di Lituania.
Ketika orang lain merantau demi mimpi, Amar melangkah demi prinsip. Dan jalan itu tak selalu lurus. Ia berliku, penuh tantangan, tapi justru di sanalah banyak pelajaran ditemukan.
Dari Kampung ke Kosmopolitan: Ketertarikan Awal yang Aneh Tapi Nyata
Amar lahir di sebuah kota kecil di atas gunung, Bengkulu. Tanpa sinyal TV, hanya TVRI, dan sinyal HP yang baru masuk setelah bertahun-tahun. Tapi dari kecil, ia sudah terpapar pada dunia luar—lewat majalah Kosmopolitan, tayangan Power Rangers, hingga berita olahraga internasional di televisi tetangga.
"Waktu kecil, aku kira semua negara luar itu Amerika. Inggris, Jerman, semuanya Amerika."
Dari sinilah benih rasa ingin tahu tumbuh. Rasa ingin "keluar dari sini". Ditambah obrolan keluarga yang penuh aktivisme—dari ketimpangan sosial hingga birokrasi—Amar kecil sudah paham bahwa hidup harus dicari, bukan ditunggu. Bahwa kadang, keadilan hanya bisa ditemukan jika kita berani melangkah keluar dari zona nyaman.
Membangun Jalan Sendiri: Freelance, Anak, dan Pengorbanan
Setelah menikah, Amar ikut istrinya ke Kroasia, tempat sang istri bekerja di Kedutaan Besar Indonesia. Tapi hidup tidak ideal. Ia bekerja serabutan sambil mengasuh anak yang baru lahir. Dari desain freelance hingga angkat galon, dari supir dadakan hingga tour guide.
"Akhirnya aku minta istri resign, pulang ke Indonesia. Janjiku: aku akan bawa kita balik ke Eropa lagi."
Dan janji itu dijalankan serius. Amar mulai apply kerja ke luar negeri, ratusan lamaran tiap malam. Hanya satu atau dua yang membalas. Tapi ia sadar satu hal:
"Kalau tetap di Indonesia, peluang kecil. Aku harus dekati Eropa dulu."
Turki: Jembatan Menuju Mimpi
Dengan tabungan seadanya dan penghasilan $1000/bulan dari kerja remote, Amar nekat pindah ke Turki. Targetnya sederhana: lebih dekat ke Eropa, agar lebih mudah menjangkau peluang kerja. Tapi realita tak semanis rencana. Visa terbatas. Pindah-pindah ke Serbia, kembali ke Turki. Total 8-9 bulan jadi digital nomad tanpa kejelasan.
Ia tinggal dalam ketidakpastian, dikejar waktu dan logistik. Tapi di tengah semua itu, Amar tidak menyerah.
"Aku sadar, yang penting adalah mendekat dulu. Dari situ baru cari jalan."
Dokumen, Jembatan, dan Bantuan Sesama WNI
Di tengah kekacauan administrasi, satu hal jadi pelajaran besar:
"Legalitas itu segalanya. Ijazah, akta lahir, SKCK... semua harus siap dari awal."
Kebanyakan orang berpikir pindah negara hanya soal visa. Tapi dokumen dasar seperti ijazah yang dilegalisir bisa jadi penentu hidup. Untung Amar punya sedikit pengalaman dari masa kerjanya di kedutaan. Dan bantuan pun datang, pelan-pelan. Tidak selalu dari sesama WNI, tapi cukup untuk membangun jembatan.
"Satu manajer dari Lithuania, yang pernah kerja bareng aku, akhirnya jadi orang yang ngedorong perusahaan kasih sponsorship."
Dan dari situ, pintu Eropa terbuka.
Clubbing Pertama dan Culture Shock Terbesar
Kerja di perusahaan Eropa adalah satu hal. Menyesuaikan dengan budaya sosialnya adalah hal lain. Amar ikut winter party kantor—yang juga merupakan clubbing pertamanya. Ia mencoba mengikuti alurnya: berdansa, hang out, bahkan masuk ke smoking room meski tidak merokok.
"Aku pikir, ini momen bonding. Aku ngerasa diterima banget waktu itu."
Tapi esoknya, tak ada satu pun yang menyapanya. Bahkan sang manajer yang semalam merangkul dan memberi motivasi, kini tak menoleh sedikit pun.
"Ternyata, mereka malu karena mabuk. Jadi mereka pura-pura lupa semua yang terjadi."
Di situ, Amar sadar. Culture shock bukan hanya tentang bahasa atau makanan. Tapi tentang bagaimana sebuah komunitas memaknai kebersamaan.
Ditipu Saat Baru Tiba, Disambut Invasi Rusia
Setelah proses panjang, akhirnya Amar dan keluarganya tiba di Lituania. Tapi ujian belum selesai. Ia ditipu saat menyewa rumah dari Turki. Uang ratusan euro lenyap. Mereka nyaris tak punya tempat tinggal.
"Alamat emailnya ‘labas rytas’, aku kira itu nama orang. Ternyata artinya ‘selamat pagi’ dalam bahasa Lithuania."
Belum selesai trauma itu, seminggu kemudian Rusia menginvasi Ukraina. Situasi di Lithuania menjadi genting. Orang-orang diminta menyiapkan tas darurat. Amar dan keluarganya, yang bahkan belum gajian pertama, hanya bisa menatap dengan pasrah.
"Itu momen paling stresful. Baru saja ditipu, belum stabil, lalu ada ancaman perang."
5 Tahun ke Depan dan Pertanyaan Nasionalisme
Apakah ingin kembali ke Indonesia? Jawabannya: tidak. Kecuali karena orang tua. Tapi bukan berarti nasionalismenya hilang.
"Buatku, nasionalisme itu bukan paspor. Tapi wajah, lidah, dan sikap kita."
Dan itu tidak bisa dilepas. Bahkan jika tinggal di negara lain. Bahkan jika suatu hari ia mengganti kewarganegaraan, Amar tetap merasa dirinya adalah orang Indonesia. Karena nasionalisme, menurutnya, adalah hal yang melekat—bukan yang ditentukan oleh dokumen.
Nilai Hidup: Keadilan, Transparansi, dan Akuntabilitas
Sebagai seorang perantau, Amar punya tiga nilai utama yang ia pegang:
Keadilan – karena sejak kecil ia menyaksikan ketimpangan.
Transparansi – karena ia percaya semua hal besar dimulai dari kejujuran.
Akuntabilitas – karena janji bukan sekadar kata, tapi komitmen.
"Kalau tempat tinggal baru punya tiga hal itu, kemungkinan besar itu tempat yang cocok buat aku."
Untuk yang Ingin Merantau
Amar punya tiga pesan:
Pede lah sama kemampuan diri.
Jangan berhenti belajar, entah itu lewat buku atau pengalaman.
Dan kalau bisa, keluarlah. Merantau.
"Merantau itu bukan soal tempat. Tapi soal tumbuh. Kadang kita perlu bergerak, supaya bisa bertumbuh."
Karena kadang, tempat tinggal bukan soal tanah kelahiran, tapi tentang di mana kamu merasa bisa hidup sepenuhnya.
Dan Amar? Ia masih mencari, sambil terus tumbuh.